Mutiara Hikmah

icon

icon

Rabu, 10 April 2013

TAUJIHAT SHAHWAH ISLAMIYAH





Panduan Kebangkitan Islam Syaikh 'Utsaimin 73-81



ORIENTASI SYABABUSH SHAHWAH

Tidak Diperbolehkan Bagi Seseorang Berbicara Tentang Agama Tanpa Ilmu
73. Nasihat apa yang diberikan kepada kaum supaya mereka menegakkan dakwah Ilallah dengan mendatangi serta mengajaknya kemasjid, sebagian dari mereka tidak mengerti ilmu sedikitpun?
Adapun metode meng-ishlah yang tepat adalah melihat  dan mengikuti dengan media(perantara) yang sesuai selama media itu bukanlah sesuatu yang dilarang, karena media terbatas dengan dzatnya dan tidak disebut sebagai hukum, tetapi pada media itu adanya adalah ahkamul maqasid(maksud dari hukum) tersebut.
Adapun media yang terlarang tidaklah diperbolehkan mengikutinya, seperti; seseorang yang menjadikan menari dan menyanyi sebagai media untuk mengumpukan manusia, kemudian mengajak mereka kepada Allah, karena yang seperti itu adalah haram dan tidak bermanfaat, karena Allah tidak menjadikan obat bagi umat dari apa-apa yang diharamkannya.
Maka perantara dalam berdakwah kepada Allah adalah sesuatu yang diperbolehkan selama itu bukan perkara yang dilarang, karena media perantara pada batasan dzatnya bukanlah termasuk ibadah tetapi metode untuk mencapai tujuan yang dimaksud, seperti; mengunjungi masyrakat, membacakan Al Quran kepada meraka dan apa-apa yang mudah dari hadits-hadits Rosulullah dan mengeluarkan  meraka dengannya bersama mereka untuk mengajari dan mencerdaskan mereka maka hal ini adalah kebaikan tanpa diragukan lagi.
Dengan sebab itulah, tidak diperbolehkan seseorang berbicara tentang agama tanpa ilmu. Sebagaimana firman Allah;
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ } [الأعراف: 33
33. Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."(Q.S. Al A’raf: 33)
Juga firman Allah;
{وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا} [الإسراء: 36]
36. dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Q.S. Al Isra’: 36)
Ibnu ‘Abbas menjelaskan bahwa [walaa taqfu] artinya [walaa taqul] (jangan berkata).[1]
Ibnu Katsir menerangkan ayat di atas berkata:
“Sesungguhnya Allah melarang perkataan tanpa ilmu, juga perkataan dengan dhan (persangkaan).”[2]
Itu semua adalah sangat sesuai, lebih di sukai dan sebagai peringatan, karena kebanyakan dari da’i mereka menyampaikan hadits-hadits yang tidak jelas asalnya dalam ceramah meraka. Diantaranya hadits dho’if, maupun hadits maudhu’, mereka berdakwah dengan begitu bertujuan memikat manusia dengan hadits-hadits tersebut, dan itu adalah termasuk kesalahan yang besar. Sedangkan masih banyak hadits-hadits shohih dari Rosul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, juga dalil dari kitabullah, maka dari itu kita tinggalkan menggunakan hadits-hadits yang maudhu’ dan dho’if.[3]
Sebagai seorang da’i harus selalu jujur dalam menyampaikan risalah dakwah dengan cara menyampaikan yang sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah. Jujur adalah sifat yang harus dimiliki oleh semua orang terkhusus lagi bagi seorang da’i, dan Rasul-pun mewajibkan kepada ummatnya untuk selalu berlaku jujur sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan dari ‘Abdullah ibnu Mas’ud;
وعن عبد الله بن مسعود قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " عليكم بالصدق فإن الصدق يهدي إلى البر وإن البر يهدي إلى الجنة وما يزال الرجل يصدق ويتحرى الصدق حتى يكتب عند الله صديقا . وإياكم والكذب فإن الكذب يهدي إلى الفجور وإن الفجور يهدي إلى النار وما يزال الرجل يكذب ويتحرى الكذب حتى يكتب عند الله كذابا " . متفق عليه
“Wajib bagi kalian untuk bersikap jujur, kerana kejujuran akan membawa  kepada kebaikan, dan kebaikan itu akan membawa ke syurga. Apabila seseorang terus menerus bersikap jujur dan berusaha untuk sentiasa jujur maka di sisi Allah dia akan dicatat sebagai orang yang Siddiq. Dan jauhilah kedustaan, kerana kedustaan itu akan membawa kepada kefajiran[4], dan kefajiran akan menjerumuskan ke dalam neraka. Apabila seseorang terus menerus berdusta dan mempertahankan kedustaannya maka di sisi Allah dia akan dicatat sebagai seorang pendusta.”(Muttafaqun ‘Alaih).[5]


Aku bukanlah orang yang mengkritik kepada jama’ah ini.
74. Sungguh sangat banyak perkataan dari beberapa jama’ah, dan apa yang diandalkan dari jama’ah ini ataupun yang semisal itu,  memperbanyak perkataan dalam jama’ah dakwah dan tabligh.
Saya(Syaikh ‘Utsaimin) melihat bahwa jama’ah ini mempunyai kebaikan yang banyak, dan mempunyai dampak lebih yang tidak ditemui pada jama’ah lain, diantara dampak tersebut adalah:
Adanya beberapa orang kafir yang beriman karena dakwah mereka, beberapa orang yang berbuat maksiat berubah menjadi ta’at dengan dakwah meraka, dan ini adalah perkara yang nyata dan tidak dipungkiri.
Akan tetapi menurut saya(Syaikh ‘Utsaimin) jama’ah mereka masih memerlukan ilmu, karena telah sampai kepadaku bahwasanya sebagian dari mereka tidaklah mencintai ilmu dan tidak pula mendalaminya. Dia mengatakan; bahwasanya mempelajari lebih dalam adalah khusus bagi ulama’ dan yang semisal ulama’, dan ini adalah sebuah kesalahan dan ini pulalah yang menjadi kritikan bagi mereka.[6]
75. Enam sifat dakwah jama’ah tabligh(Shifatush Shahabah)
Jama’ah tabligh menfokuskan dakwah mereka hanya kepada enam sifat  saja, walaupun  sifat-sifat tersebut adalah sifat yang baik dan terpuji tetapi tidak dibatasi hanya sifat tersebut saja yang harus di dakwahkan oleh para du’at, dan mereka meninggalkan sifat yang lebih agung dari itu, atau sebagian lebih agung dari yang mereka dakwahkan, akan tetapi itu adalah ijtihad mereka.
Enam sifat tersebut yang dimaksud adalah;
1)      Yakin atas kalimah thoyyibah “laa ilaaha illallah muhammadurrasulullah”.
2)      Sholat khusyu’ dan khudlu’.
3)      Ilmu ma’adzikir.
4)      Ikromul Muslimin.
5)      Tashihun niat.
6)      Da’wah dan tabligh khuruj fi sabilillah.[7]
Maka dari itu sebagian orang mengatakan bahwasanya  dakwah ini sangat berat, oleh sebab itu dia harus fokus terhadap apa yang didakwahkan nabi tentang agama kita. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits Umar ibn Al Khatthab Radhiyallahu ‘Anhu. Dia berkata:
بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - ذَاتَ يَوْمٍ، إذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ، شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ. حَتَّى جَلَسَ إلَى النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - . فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إلَى رُكْبَتَيْهِ، وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخْذَيْهِ، وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنْ الْإِسْلَامِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إنْ اسْتَطَعْت إلَيْهِ سَبِيلًا. قَالَ: صَدَقْت . فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ! قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِيمَانِ. قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِاَللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ: صَدَقْت. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِحْسَانِ. قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّك تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاك. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنْ السَّاعَةِ. قَالَ: مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنْ السَّائِلِ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا؟ قَالَ: أَنْ تَلِدَ الْأَمَةُ رَبَّتَهَا، وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِي الْبُنْيَانِ. ثُمَّ انْطَلَقَ، فَلَبِثْنَا مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ: يَا عُمَرُ أَتَدْرِي مَنْ السَّائِلُ؟. قَلَتْ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْ ". رَوَاهُ مُسْلِمٌ
“Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata: “ Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia berkata: “ anda benar“. Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya “. Dia berkata: “ Beritahukan aku tentang tanda-tandanya “, beliau bersabda: “ Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya “, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “ Tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian“.(Riwayat Muslim)
Seandainya ikhwan kita(jama’ah tabligh) lebih menfokuskan dakwahnya kepada ushul yang disebut nabi sebagai Din maka itu adalah yang lebih baik dan lebih lurus.
Dan tidak diragukan lagi bahwa enam sifat yang mereka dakwahkan memiliki banyak kekurangan. Maka mereka harus menyempurnakannya  sebagaimana yang ditunjukkan oleh syari’at agama.[8]

76. wajib membangun satu Hizb(kelompok) saja
Bagi sebuah daulah wajib membangun satu hizb saja yaitu hizbullah Azza Wajalla yang menampung dalam berhukum dengan syari’at islam pada setiap perkara;  pada perkara ibadah yang menghubungkan antara manusia dengan Rabb-nya, mu’amalat antara makhluq dengan sesama, begitu pula yang berhubungan dengan keluarga atau yang berhubungan dengan pihak yang lain, ekonomi, militer, dan lain-lain.
Setiap negeri muslim pemerintahannya wajib kembali kepada Al Quran dan Sunnah, dan yang disebut hizb disini adalah Hizbullah sebagai pelaksana syari’at Allah. Satu kelompok ini yaitu Hizbullah yang tidak akan membahayakan ummat islam seperti sebagaimana jika jumlah hizb itu sangat banyak. Allah Azza Wajalla telah memberi isyarat dalam Al Quran bahwa banyaknya hizb dan pertentangan adalah penyebab kegagalan. Allah berfirman;
وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ......
Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu....... (Q.S Al-Anfal: 46)
Juga firman Allah;
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
105. dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.(Q.S Ali Imran: 105)

77. Hukum mogok kerja
Bagaimana hukum mogok kerja dengan tujuan meruntuhkan pemerintahan sekuler. Hal yang semacam ini tidak terdapat asalnya dalam syari’at agama, jika yang dimaksud adalah untuk meruntuhkan pemerintahan sekuler maka harus dipastikan dulu bahwa di negeri tersebut adalah benar-benar menggunakan hukum sekuler, jika memang sudah bisa dipastikan maka hal ini diperbolehkan akan tetapi memerlukan beberapa syarat, sebagaimana yang di jelaskan Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits ‘Ubadah ibnu Shamit Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata: Rasulullah membaiat kita untuk mendengarkan dan taat dalam perkara yang senangi dan tidak senangi, dalam keadaan lapang dan sempit kita, tidak egois dan tidak pula menyelisihi pemimpin. Nabi bersabda: “kecuali engkau melihat kekafiran yang tampak jelas pada mereka dan disertai dengan bukti”
            Adapun syarat-syarat tersebut adalah:
a.       Melihat dan mengetahui dengan pasti bahwasanya pemerintahan melakukan perbuatan kekafiran.
b.      Pemerintahan benar-benar melakukan kekafiran. Jika mekukan kefasikan saja maka hal ini tidak diperbolehkan.
c.       Melakukan kekafiran dengan terang-terangan dan sangat jelas dan tidak perlu ta’wil.
d.      Mempunyai bukti dari Al Quran dan Sunnah.
e.       Mampu untuk meruntuhkan pemerintahan tersebut, karena jika belum mampu tapi memaksakan kehendak maka akan terjadi sesuatu yang lebih parah(Dharar) dari pada berdiam dalam keadaan tersebut.

Lima syarat tersebut wajib dipenuhi jika ingin meruntuhkan pemerintahan sekuler, jika memang permogokan dapat menjadi sebab untuk meruntuhkan pemerintahan sekuler setelah semua syarat yang tersebut diatas terpenuhi, maka yang seperti itu di perbolehkan. Adapun jika salah satu dari syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka permogokan tidak di perbolehkan dan tidak boleh bergerak untuk meruntuhkan pemerintah. [9]

78. setelah permogokan, bolehkan kita melakuka revolusi pemerintahan dikarenakan kefajiran pemerintan?
Syaikh Muhammad Ibnu Sholih Al ‘Utsaimin berpendapat bahwa, aku tidak berpendapat bahwa akan didirikan revolusi pemerintahan pada saat ini, karena kekuatan ada di tangan pemerintah sebagaimana yang kita ketahui. Dan revolusi pemerintahan tidak hanya memerlukan pisau dapur dan tongkat pengembala, dan diperkuat dengan peralatan perang dan senjata. Tetapi hal ini bisa dicapai dengan jalan yang lain jika syarat-syarat sudah terpenuhi sebagaimana tersebut diatas. Dan tidak di perbolehkan tergesa-gesa, karena negeri tersebut telah hidup dalam kurun waktu yang lama dalam penjajahan dan tidak mungkin untuk merubahnya dengan seketika menjadi negeri islami, akan tetapi hal ini memerlukan waktu yang panjang dan bahkan seumur hidup.[10]

79. Duduk-duduk dalam rangka menekan pemerintah
Para pemogok kerja yang mereka berkumpul dan duduk-duduk di halaman/lapangan, sebagaimana mereka duduk-duduk di halaman gedung pemerintah, bermalam di halaman tersebut. Maka bagaimana hukum duduk-duduk tersebut apakah ada dasar syari’atnya?
Duduk-duduk sebagaimana yang disebutkan diatas tidak diragukan lagi bahwa itu adalah sebagai upaya atau wasilah untuk menekan pemerintah, tetapi perlu diketahui bahwa wasilah itu tergantung kepada maksud dan tujuannya, selama wasilah itu tidak menggunakan sesuatu yang diharamkan maka hal itu diperbolehkan.[11]

80. Ada seseorang berpendapat: kita berkumpul dengan apa yang kita sepakati, dan toleran satu sama lain terhadap apa yang kita masih berselisih.
            Syaikh Muhammad Ibnu Sholih Al ‘Utsaimin berpendapat secara global; Adapun tentang berkumpul dengan apa yang telah disepakati itu adalah benar. Adapun toleran terhadap apa yang masih diperselisihkan, maka ini masih perlu diperinci lagi:
Jika yang diperselisihkan adalah masalah yang diperbolehkan ijtihad maka hal ini dibolehkan, dan dilarang saling membenci dikarenakan perbedaan ini.
Adapun jika yang diperselisihkan adalah masalah yang dilarang ijtihad maka tidak ada toleran bagi yang menyelisihinya. Dan wajib tunduk kepada kebenaran. Ibarat yang pertama adalah benar dan yang kedua masih memerlukan rincian lagi.[12]

81. Berdakwah tanpa ilmu tidak akan istiqamah selamanya.
Kita sering menemukan sebagian da'i memiliki perhatian terhadap dakwah ke jalan Allah dan ukhuwah di jalan allah serta saling mencintai di dalamnya, namun tidak memperhatikan persoalan ilmu dan tafaqquh dalam perkara-perkara ad-dien dan aqidah serta dalam menghadiri majlis-majlis ilmu, maka apakah komentar syaikh terhadap hal ini ?
Syaikh Muhammad Ibnu Sholih Al ‘Utsaimin berkomentar, “bahwa sesungguhnya kewajiban yang pertama adalah seorang da’I berbekal dengan ilmu sehingga menjadi ‘Alim. Dan sedikitnya ilmu menandakan bahwa manusia itu masih bodoh, dengan begitu dakwahnya akan mengambang tidak diketahui kebenarannya.
Jika dakwahnya tegak atas kebodohan maka manusia akan berhukum dengan apa yang ia dapat melalui akalnya, karena menganggap yang ia dapat adalah benar, padahal salah. Dan ini adalah kesalahan yang  besar, maka janganlah berdakwah kecuali setelah berilmu. Sungguh Imam Bukhari Rahimahullah telah menyusun hal tersebut didalam kitab shohihnya, yaitu; Bab ilmu sebelum berkata dan beramal, kemudian beliau mengambil dalil dengan firman Allah:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ....
19. Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan……..( Q.S Muhammad: 19).
            Dari ayat diatas dapat kita ketahui bahwa, da’I haruslah berilmu sebelum dia berdakwah.
Adapun berdakwah tanpa ilmu tidak akan istiqamah selamanya adalah dapat kita ambil sebuah perumpamaan, “seandainya kita dari Jeddah ingin pergi ke Riyadh, kemudian kita pasrahkan kepada seseorang yang ingin terhadap kebaikan dan niat yang baik, dan kita katakan kepadanya, “kami ingin engkau menunjukkan kami jalan ke Riyadh” tetapi dia tidak tahu jalannya. lalu kita pergi bersamanya dan tersasar ke padang sahara, kita terus mengikuti dan mengikutinya. Dan hasilnya kita tidak akan sampai ke Riyadh. Kenapa? Dikarenakan tidak tahu jalannya.
Maka bagaimana mungkin bisa menunjukkan kepada syari’ah orang yang tidak mengerti syari’ah? Dan yang seperti itu tidak akan mungkin selamanya.[13]

                                  


[1] Ibnu ‘Abbas, Tanwirul Miqbas Min Tafsir Ibnu ‘Abbas, Dar Kutub Ilmiyyah, lebanon,tt. Hal. 236
[2] Abu Fida’ Ismail Ibnu Katsir Al Qurasyi, Tafsir Quranul ‘Adhim, Dar Thayyibah, Maktabah Syamilah, 1999, Juz. 5, Ha. 75
[3][3] Muhammad Ibnu Sholih Al ‘Utsaimin, Ash Shahwah Islamiyah, Madarul Wathan, Mamlakah ‘Arabiyah, 1433 H, Hal. 137-138
[4] Kafajiran: Perbuatan kemaksiatan
[5] Muhammad Ibnu Abdullah Al Khatib At Tibrizi, Misykatul Mashabih, Maktabah Islami, Bairut,1985. Juz.3, Hal. 45
[6] Muhammad Ibnu Sholih Al ‘Utsaimin, Ash Shahwah Islamiyah, Madarul Wathan, Mamlakah ‘Arabiyah, 1433 H, Hal. 138-139
[8] Muhammad Ibnu Sholih Al ‘Utsaimin, Ash Shahwah Islamiyah, Madarul Wathan, Mamlakah ‘Arabiyah, 1433 H, Hal. 140-141
[9] Muhammad Ibnu Sholih Al ‘Utsaimin, Ash Shahwah Islamiyah, Madarul Wathan, Mamlakah ‘Arabiyah, 1433 H, Hal.
[10] Muhammad Ibnu Sholih Al ‘Utsaimin, Ash Shahwah Islamiyah, Madarul Wathan, Mamlakah ‘Arabiyah, 1433 H, Hal.
[11] Muhammad Ibnu Sholih Al ‘Utsaimin, Ash Shahwah Islamiyah, Madarul Wathan, Mamlakah ‘Arabiyah, 1433 H, Hal.
[12] Muhammad Ibnu Sholih Al ‘Utsaimin, Ash Shahwah Islamiyah, Madarul Wathan, Mamlakah ‘Arabiyah, 1433 H, Hal.
[13] Muhammad Ibnu Sholih Al ‘Utsaimin, Ash Shahwah Islamiyah, Madarul Wathan, Mamlakah ‘Arabiyah, 1433 H, Hal. 145-146

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text