KEBANGKITAN DAN DAKWAH
Kebangkitan dan dakwah adalah sesuatu yang sangat penting dalam
islam bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, dengan
dua hal tersebut ummat ini akan menuju perubahan yang lebih baik jika benar-benar
bisa bangkit dan mendakwahkan ajarannya kepada seluru alam, sehingga hukum yang
telah ditetapkan oleh Rabbil’izzati bisa diaplikasikan dalam kehidupan seluruh
ummat manusia. Dengan begitu diharapkan bagi ummat ini untuk menuju derajat
yang lebih tinggi dalam stratata kehidupan manusia baik di dunia maupun di
akhirat, dalam hal ini kita akan membahas dulu tentang pengertian kebangkitan
dan dakwah.
Pengertian kebangkitan (ash-shahwah) yang langsung terlintas di dalam benak
kita adalah kata: shaha-yashhu; artinya bangun(Sadar tidak tidur)[1]. Melihat
realita saat ini, keadaan umat adalah bagaikan orang yang sedang tidur, yang
terlena dari kesadarannya(sebagaimana yang disebutkan syaikh ‘Utsamin dalam
kitabnya”Ash Shahwah Al Islamiyah”).
Ash-shaha, artinya lenyap mabuknya. Orang Arab membandingkan mabuk dengan
as-Shahwah, yakni antara berakal dan tidak berakal.[2]
Di antara contohnya: dia ingin mengambilnya antara as-sukrah dan as-shahwah.
Ini misalnya seorang pelajar yang merasa bodoh, sementara ia mengetahui.
Shaha dalam bahasa Arab – jika untuk menyifati manusia – juga diartikan
dengan kesadaran, kesembuhan dan kebangunan. Hal itu diketahui dari lawan
katanya, yaitu tidur atau mabuk. Dikatakan: Shaha min nawmih aw min sukrih (Dia
bangkit dari tidurnya atau sadar dari mabuknya). Maknanya: bangkit/sadar.[3]
Dengan kata lain, kesadarannya telah kembali yang sebelumnya lenyap dari
dirinya sebagai akibat dari sesuatu yang alami, yaitu tidur, atau suatu
rekayasa, yaitu mabuk.
Ash-Shahwah (kebangkitan) pada asalnya untuk menyatakan kekuatan kesadaran
pada diri manusia yang diungkapkan dengan hati atau kesadaran atau akal[4], Sesuatu
yang membuat limbung umat adalah sama dengan apa yang membuat limbung individu,
yaitu hilangnya kesadaran baik jangka panjang maupun pendek akibat tidur dan
terlenanya umat dari dalam diri umat sendiri atau dari luar akibat tidur yang
dipaksakan kepadanya oleh pihak lain. Jadi ash-shahwah (kebangkitan) artinya
adalah kembalinya kesadaran dan kembalinya kewaspadaan umat yang sebelumnya
telah hilang.
Inilah pengertian etimologis dari kata bangkit dan kebangkitan. Adapun
makna istilah kata kebangkitan (ash-shahwah) sebagaimana diketahui adalah
kebangkitan dari keterpurukan dan keterlenaan serta dari ketiadaan pemahaman
terhadap realita hakiki yang menjadi realita hidup umat. Hal itu akibat dari
banyak faktor yang menutupi umat dari kebenaran; memalingkan umat dari memahami
realita; dan kewaspadaan umat terhadap realita ini serta upaya umat untuk
mengubah dan membebaskan diri darinya menuju realita yang lebih mulia.
Sedangkan makna dakwah adalah Secara
bahasa perkataan da’wah berasal dari kata kerja دعا يدعو دعوة (da’â
– yad’û, da’watan), yang berarti mengajak, menyeru, memanggil.[5]
Disebutkan juga dalam kamus al munjid dengan arti yang serupa yaitu دعا يدعو دعوة artinya memanggil/mengajak
atau panggilan/ajakan.[6] Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir As Sa’di menyebutkan dalam tafsirnya
pada penafsiran dari surat Al Baqarah ayat 186, bahwa; Panggilan itu dibagi
menjadi dua(2):
a.
Panggilan
kepada ibadah
Dari dua pengertian dakwah yang disampikan oleh Syaikh Abdurrahman
ibnu Nashir As Sa’di, tentu saja dakwah yang kita dimaksudkan adalah dakwah
kepada ibadah. Yaitu mengajak manusia kepada ibadah kepada Allah Ta’ala saja.
Dan dengan dakwah ini pula diharapkan bisa membangkitkan ummat yang sedang
terpuruk dari berbagai segi kehidupannya, dari segi agama ummat ini sangat
kurang dan dari segi harta juga masih banyak yang berada pada garis kemiskinan.
Dan cara untuk membangkitkan mereka adalah dengan mendakwahkan ajaran agama ini
sehingga ummat faham betul hakikat hidup dan mereka diciptakan oleh Allah
Ta’ala, dengan kefahaman yang mereka miliki diharapkan menimbulkan kesadaran
untuk bangkit dan turut andil dalam perjuangan dan dakwah ini.
Umat Islam sesungguhnya telah banyak memperhatikan kebangkitan, sementara
realita tersebut telah raib dan hilang dari kesadaran umat selama tahun-tahun
yang panjang akibat beberapa faktor, baik internal maupun eksternal umat.
Sehingga banyak terjadi perpecahan dikalangan ummat islam sendiri, dan
mengabaikan untuk mengaplikaasikan makna kebangkitan islam ini, dan yang
terjadi kebangkitan hanya menjadi sesuatu yang semu dan samar dalam dunia islam
ini.
faktor-faktor yang mengantarkan kepada kebangkitan di antara yang
terpenting adalah;[8]
Pertama, kita harus mengimani dan tidak boleh ada keraguan
sedikitpun bahwa pertolongan itu semata-mata di tangan Allah Ta’ala. Kita pun
harus mengetahui dengan keyakinan pasti bahwa pertolongan Allah Ta’ala kepada
kita bergantung pada pertolongan kita kepada agama-Nya. Sebagaimana Firman-Nya;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا
اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong
(agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”.(Q.S Muhammad: 7)
Kedua, pertolongan pada tahap akhir itu akan diberikan
kepada Islam dan penganutnya yaitu kaum Mukmin yang benar serta melaksanakan
amal salih. Ini sesuai dengan Firman Allah Ta’ala;
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ
مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ
كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang
yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia
sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia
telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia
benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan
menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan
sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji)
itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. (Q.S An Nur: 55)
Ketiga, kebangkitan Islam ini akan datang buahnya, baik
dalam waktu yang cepat maupun lambat. Namun, semua itu bukan berarti akan
terwujud dengan hanya duduk-duduk dan menunggu tercapainya pertolongan. Sebab,
yang demikian itu menafikan adanya kewajiban beramal salih. Maka Rasulullah
mensinyalir akan adanya kelompok yang akan selalu istiqomah berada dia atas
sunnah hingga Allah mendatangkan perkara-Nya. Sebagaimana sabdanya;
لا
تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خذلهم حتى يأتي أمر الله وهم كذلك
“Terus menerus ada sekelompok dari ummatku yang mereka
tetap nampak di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang mencerca mereka
sampai datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti
itu”.[9]
Keempat: Yakin akan keberuntungan yang akan datang walaupun
jumlah orang-orang yang berjalan diatas
menuju kebangkitan ummat sangat sedikit. Sebagaimana sabda Rasulullah:
بَدَأَ
الْإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ فَطُوْبَى
لِلْغُرَبَاءِ
“Islam mulai muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing
sebagaimana awal munculnya maka beruntunglah orang-orang asing itu”.(H.R
Muslim)[10] dan Hadits ini
di shahihkan oleh Al Imam Muhamad Nashiruddin Al Albani.[11]
Berkata Imam Al-Ajurry Kitab Al-Ghuraba` Minal Mu’minin: “Dan
perkataan (Nabi) Shallallahu ‘Alaihi Wa Alihi Wasallam “Dan akan kembali asing”
maknanya Wallahu A’lam sesungguhnya hawa nafsu yang menyesatkan akan menjadi
banyak sehingga banyak dari manusia tersesat karenanya dan akan tetap ada Ahlul
Haq yang berjalan diatas syari’at islam dalam keadaan asing di mata manusia,
tidakkah kalian mendengar perkataan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Alihi Wasallam :
“Akan terpecah ummatku menjadi 73 golongan semuanya masuk neraka kecuali satu,
maka dikatakan siapa mereka yang tertolong itu? maka kata Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Alihi Wasallam : “Apa-apa yang saya dan para shahabatku berada di
atasnya pada hari ini”[12]
Dari beberapa keterangan diatas untuk mengaplikasikan kebangkitan
ummat ini sangatlah sulit, kita harus benar-benar mempunyai cara yang jitu dan
tepat untuk mengajak(mendakwahkan) kebangkitan kepada ummat. Mulai dari
membangunkan ummat yang masih tertidur, yang mana meraka masih belum sadar akan
pentingnya menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya, juga akan
adanya perpecahan dalam ummat ini, dan yang paling dahsyat adalah serangan dari
luar yaitu yahudi dan nashrani, yang mereka tidak akan rela dan puas untuk
menyerang kita hingga kita keluar dari agama ini dan mengikuti mereka. Dan
perlu kita kilas balik sejarah juga bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Alihi Wasallam, juga tak lepas dari rintangan dalam dakwahnya, beliau mendapat
cacian dan tuduhan-tuduhan yang sangat keji dari mereka yang membenci dan
memusuhi dakwah beliau, Sungguh pekerjaan dakwah bukanlah sesuatu yang mudah namun
menyeru ummat manusia kepada Allah adalah perintah langsung dari Allah Ta’ala
kepada para Rasul dan kita semua sebagaimana termaktub dalam kitab-Nya, agar
ummat manusia selamat di dunia dari kenistaan hawa nafsu dan selamat di akhirat
dengan terhindar dari api neraka dan dimasukkan ke surganya Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Kita tahu bahwa
sudah menjadi sunnatullah dalam kehidupan setiap
hamba teriring dengan ujian dan cobaan hidup yang silih-berganti. Hal ini Allah
Ta’ala jamin keberlangsungannya dalam firman-Nya,
Artinya, “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan
sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS.
al-Baqarah:155)
Serupa pula dengan firman-Nya,
Artinya, “Dan Sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji
kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara
kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu.” (QS.
Muhammad: 31)
Hidup kita
adalah mendakwahkan islam(dakwah yang haq) yaitu dakwah yang didasari oleh
petunjuk Yang maha pembuat syari’at dengan bertujuan mentauhidkan-Nya dan
mengenyahkan segala bentuk kesyirikan. Maka bentuk dakwah ini senantiasa tidak
akan terlepas daripada ujian, rintangan, dan ancaman, baik secara mental maupun
fisik. Laksana kata, dakwah yang haq tanpa dibarengi ujian dan rintangan,
seperti sebuah hal yang patut dipertanyakan—dakwah seperti apakah itu? Oleh
karena beratnya beban yang harus diterima, maka sedikitlah yang mampu
melaksanakan dakwah haq ini karena takut akan konsekuensinya. Sebaliknya,
mereka yang mampu dan tetap istiqomah menopang ujian dan rintangan demi
tersebar dan tegaknya syari’at Allah di muka bumi ini, mereka akan tegar dan
berjiwa besar, karena mereka hanyalah mengharap balasan dari sisi Allah saja
diakhirat kelak, sehingga tidak termasuk golongan orang-orang yang merugi pada
hari pembalasan nantinya.
Berikut ini
adalah beberapa ujian dan rintangan para du’at (penyampai dakwah) dalam
mendakwahkan yang haq:
a. Dibenci dan dimusuhi
Mendakwahkan
yang haq merupakan kewajiban bagi setiap pribadi muslim dari Rabb-nya, terutama
kepada yang memiliki kemampuan dakwah semisal para du’at. Namun tugas ini
sungguhlah berat karena akan mendapat perlawanan dari
hizbusy-syaithan(kelompok/pembela syaitan) yang tidak akan tinggal diam jika
kebenaran yang hakiki ditebarkan di muka bumi. Perlawanan ini telah ada sejak
zaman para nabi dahulu dan berkekalan hingga akhir zaman. Akan hal ini, Allah
Ta’ala berfirman,
Artinya, “Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi
tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa” (QS. al-Furqon:
31)
Lalu firman-Nya,
Artinya, “Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi
tiap-tiap nabi, musuh yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis)
jin.” (QS. al-An’am:112)
Dan juga firman-Nya,
Artinya, “Dan Demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap
negeri penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya dalam
negeri itu. dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang
mereka tidak menyadarinya” (QS. al-An’am:123)
Melalui tiga
ayat ini, Allah Ta’ala telah menggariskan sebentuk ujian keimanan bagi para
hamba pilihan-Nya melalui adanya sekelompok penentang kebenaran dan para
penyeru kekafiran yang tak hentinya membuat makar.
Dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Alihi Wasallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ
بَيْنَ خَمْسِ شَدَائِدَ: مَؤْمِنٌ يَحْسُدُهُ, وَ مُنَافِقٌ يُبْغِضُهُ, وَ
كَافِرٌ يُقَاتِلُهُ, وَ نَفْسٌ يُنَازِعُهُ, وَ شَيْطَانٌ يُضِلِّهُ.
Artinya, “Orang mu’min senantiasa berhadapan dengan lima ujian yang
menyusahkan, yaitu: orang mu’min yang mendengkinya, orang munafik yang selalu
membencinya, orang kafir yang selalu memeranginya, hawa nafsu yang selalu
bertarung untuk mengalahkannya, dan Syaithan yang selalu menyesatkannya.”[13]
b. Diejek dan dipermainkan
Zaman memang
telah berubah, namun intrik-intrik setan takkan lekang dimakan roda zaman.
Keberadaan ulama rabbani yang merupakan pewaris para nabi dan sejatinya
dimuliakan lagi diikuti, mereka-pun tak jauh berbeda dengan nasib para ulama di
masa lalu. Seruan mereka mengajak umat kepada kebenaran yang hakiki, dianggap
lelucon yang pantas ditertawakan. Ancaman mereka yang bersumber al-Qur’an dan
as-Sunnah bagi yang menolak dan berpaling untuk mengikuti syari’at, disikapi
dingin seolah ancaman itu hanya ‘gertak sambal’ semata. Hujjah
orang-orang penolak kebenaran di masa ini hanya terpaut kepada dua hal saja,
yaitu setia mengikuti agama nenek-moyang dengan mengatakan ( حَسْبُنَا مَا وَ جَدْنَا عَلَيْهِ أَبَاءَنَا ) “cukuplah bagi kami apa yang kami dapati
nenek-moyang kami mengerjakannya…” (QS. al-Maidah: 104) dan
berpendapat bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah sudah tak sejalan lagi dengan
perkembangan zaman. Pribadi-pribadi berwatak seperti ini akan selalu eksis dan
menjadi batu ujian bagi para du’at. Allah Ta’ala menyebutkan karakter seperti
ini dalam firman-Nya,
Artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang berdosa adalah
mereka yang dahulu menertawakan orang-orang yang beriman.” (QS.
al-Mutaffifin: 29)
Dan firman-Nya,
Artinya, “Alangkah besarnya penyesalan terhadap para
hamba itu, tiada datang seorang rasulpun kepada mereka melainkan mereka selalu
memperolok-olokkannya.” (QS. Yasin: 30)
Perhatikan juga perkataan mereka di ayat berikut,
Artinya, “Demikianlah tidak seorang Rasulpun yang
datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan,
“Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila. Apakah mereka saling
berpesan tentang apa yang dikatakan itu? Sebenarnya mereka adalah kaum yang
melampaui batas.” (QS. adz-Zariyat: 52-53)
Namun demikian,
hamba-hamba-Nya yang terpilih akan terus gencar menyampaikan risalah kenabian
meski mental mereka senantiasa dilemahkan pihak-pihak yang memusuhinya.
c. Dituduh sesat
Rintangan
lainnya yang lazim dihadapi para du’at adalah dengan mengalami tuduhan
menyebarkan pemahaman sesat. Hal ini merupakan ‘lagu lama’ yang
diputar-balikkan umat yang masih awam namun tak berusaha keluar dari
kejahiliaannya kepada para du’at tersebut. Terlebih para du’at yang menjalani
medan dakwah dengan menyambangi umat ke pelosok-pelosok wilayah yang hampir tak
terjamah pemerataan pembangunan pemerintah.
Sulitnya
menjangkau keberadaan mereka, ditambah ‘proyek’ pemerintah yang telah
menjadikan mereka sebagai ‘cagar alam’ yang harus dijaga kelestarian budayanya,
adat-istiadatnya, beserta ‘keunikan’ cara beragamanya. Tak ayal lagi menambah
rentang jarak yang harus dilalui para du’at untuk melakukan dakwahnya. Namun
tak hanya umat yang tersebar di pelosok, keadaan umat di perkotaan pun tak beda
mirisnya. Mereka terkontaminasi kebudayaan luar yang tak kalah bahayanya.
Akibatnya,
mereka menolak dalil haq dengan HAM, mencurigai para ulama bak perintang
kebebasan berekspresi mereka, dan menuduh petunjuk dinullah sebagai sebuah
kesesatan. Dalam sejarah, kaum Syu’aib pun melaungkan kebenaran sebagai suatu
kesesatan yang pantas dijauhi.
Artinya, “Pemuka-pemuka kaum Syu’aib yang kafir berkata
(kepada sesamanya), “Sesungguhnya jika kamu mengikuti Syu’aib, tentu kamu jika
berbuat demikian (menjadi) orang-orang yang merugi.” (QS. al-A’raf:
90)
Demikian juga yang dilakukan Fir’aun laknatullah kepada rasul-Nya,
Musa as.
Artinya, “Dan berkata Fir’aun (kepada
pembesar-pembesarnya), “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon
kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau
menimbulkan kerusakan di muka bumi.” (QS. al-Mu’min: 26)
d. Dituduh memecah-belah umat
Ujian berupa
tuduhan sebagai pemecah-belah umat juga ‘lazim’ diterima para ulama Rabbani.
Mereka yang mengusung dakwah yang bersumber dalil al-Qur’an dan as-Sunnah harus
menerima resiko berupa penolakan umat yang awam dan kaum munafik. Isi dakwahan
yang banyak meluruskan kesalahan umat disalah-artikan umat sebagai upaya dalam
menghapus bentuk peribadahan yang sudah terbiasa dilaksanakan oleh orang-orang
terdahulu mereka.
yang ingin diubah para du’at menjadi
kefaqihan, malah dipertahankan demi menjaga warisan nenek-moyang dalam
beragama. Dalam firman-Nya, Allah menceritakan hal serupa yang dilakukan oleh
Fir’aun berikut dengan cara antisipasi kejinya,
Artinya, “Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir’aun
(kepada Fir’aun), “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat
kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?”
Fir’aun menjawab:, “Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan
hidup anak-anak perempuan mereka; dan sesungguhnya kita berkuasa penuh diatas
mereka.” (QS. al-A’raf: 127)
e. Diancam,
ditangkap, dipenjarakan, disiksa, atau dibunuh
Berikut beberapa ayat yang bisa dijadikan contoh beberapa makar
hizbusy-syaithan terhadap para utusan Allah, Allah Ta’ala berfirman pada Al
Quran surat Ibrahim;
Artinya, “Orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul
mereka, “Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu
kembali kepada agama kami.” Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka, “Kami pasti
akan membinasakan orang- orang yang zalim itu.” (QS. Ibrahim: 13)
Firman Allah pada Al Quran surat Al Kahfi;
Artinya, “Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui
tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan batu, atau memaksamu kembali
kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung
selama-lamanya.” (QS. al-Kahfi: 20)
Firman Allah pada Al Quran surat Yasiin;
Artinya, “Mereka menjawab,”Sesungguhnya kami bernasib
malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami),
niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih
dari kami.” (QS. Yasiin: 18)
Firman Allah pada Al Quran surat Al Anfal;
Artinya, “Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir
(Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu
atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu-daya dan Allah
menggagalkan tipu-daya itu dan Allah sebaik-baik pembalas tipu-daya.” (QS.
al-Anfal: 30)
Ditangkap,
diusir, dilempari batu, dirajam, hingga dibunuh—itulah beberapa siksaan fisik
yang lazim menyertai para pendakwah di jalan Allah. Kerasnya siksaan dan
pedihnya penderitaan yang dialami tak jua mengikis kekokohan perjuangannya
dalam membumikan kalimat tauhidullah. Tak terbetik sedikitpun bagi mereka untuk
sudi mengikuti makar kaum munafikin dalam upaya menyesatkan umat dari petunjuk
yang hakiki, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Baginya hanya ada dua pilihan;
Hidup dalam kemuliaan atau mati dalam kesyahidan.
Itulah beberapa
rintangan para du’at dalam mengemban tugas dakwah, yang mana jika semua itu
bisa terlewati, sungguh kebangkitan ummat melalui dakwah ini bukanlah sesuatu
yang mustahil untuk diwujudkan di tengah kehidupan ummat manusia ini. Mudah-mudahan
Allah Ta’ala menjaga keistiqomahan para du’at dalam menjaga kemurnian dinullah
serta membimbing para thullabul ‘ilmi untuk ikut-serta mendawamkan kebenaran
yang hakiki ini sepenuh kemampuan yang dimiliki.
Wallahul musta’an. Semoga bermanfa’at.
Wallahu’alam bish shawab.
[1]
A.W.Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia,pustaka progressif,
surabaya, 1997, Hal. 766
[2] Ibnu
Mandhur Al Afriqiy, Lisanul Arab, Dar Shadir, Bairut, tt, Juz. 14, Hal.
452
[3]
Ibid, Juz. 4, Hal. 372
[4] Yusuf al-Qardhawi, Ash-Shahwah al-Islamiyah wa
Humum al Wathan al-‘Arabi wa al-Islami, Mu’assasah ar-Risalah, Beirut. 1988, Hal. 11-12
[5]
A.W.Munawwir,
Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia,pustaka progressif, Surabaya, 1997,
Hal. 406
[6]
Fr. Louis Ma’luf al-Yassu’i dan
Fr. Bernard Tottel al-Yassu’i, Kamus Al
Munjid, Dar Al Masyruq, Bairut, 2008. Hal.
216
[7]
Abdurrahman
ibnu Nashir As Sa’di, Taisir Al Karim Ar Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan,
Muassasah Ar Risalah, Malik fahd, 2000. Hal. 87
[8] http://insidewinme.blogspot.com/2011/09/kebangkitan-islam-sebagai-harapan-masa.html
[9]
Muhammad
Nashiruddin Al Albani, As Silsilah Shahihah, Maktabah Ma’arif, Riyadh
tt, Juz. 4, Hal.599
[10]
Muslim
ibnu Hajjaj An Naisaburi, Al Jami’ As Shahih, Dar Al Jail, Bairut,tt.
Juz. 1, Hal. 90
[11]
Muhammad
Nashiruddin Al Albani, As Silsilah Shahihah, Maktabah Ma’arif, Riyadh
tt, Juz. 3, Hal.347
[12] Al
Ajurry, Kitab Al Ghuraba’, Maktabah Syamilah, Hal. 9
[13]
‘Ali
ibn Hussamuddin Al Hindi, Kanzul Ummal fi sunanil Af’al wa Aqwal,
Muassasah Ar Risalah, Bairut, 1989. Juz. 1, Hal. 284
Tidak ada komentar:
Posting Komentar