Panduan Kebangkitan Islam Syaikh 'Utsaimin 73-81
ORIENTASI SYABABUSH SHAHWAH
Tidak Diperbolehkan Bagi Seseorang Berbicara Tentang Agama Tanpa
Ilmu
73. Nasihat
apa yang diberikan kepada kaum supaya mereka menegakkan dakwah Ilallah dengan
mendatangi serta mengajaknya kemasjid, sebagian dari mereka tidak mengerti ilmu
sedikitpun?
Adapun
metode meng-ishlah yang tepat adalah melihat
dan mengikuti dengan media(perantara) yang sesuai selama media itu
bukanlah sesuatu yang dilarang, karena media terbatas dengan dzatnya dan tidak
disebut sebagai hukum, tetapi pada media itu adanya adalah ahkamul
maqasid(maksud dari hukum) tersebut.
Adapun
media yang terlarang tidaklah diperbolehkan mengikutinya, seperti; seseorang
yang menjadikan menari dan menyanyi sebagai media untuk mengumpukan manusia,
kemudian mengajak mereka kepada Allah, karena yang seperti itu adalah haram dan
tidak bermanfaat, karena Allah tidak menjadikan obat bagi umat dari apa-apa
yang diharamkannya.
Maka
perantara dalam berdakwah kepada Allah adalah sesuatu yang diperbolehkan selama
itu bukan perkara yang dilarang, karena media perantara pada batasan dzatnya
bukanlah termasuk ibadah tetapi metode untuk mencapai tujuan yang dimaksud,
seperti; mengunjungi masyrakat, membacakan Al Quran kepada meraka dan apa-apa
yang mudah dari hadits-hadits Rosulullah dan mengeluarkan meraka dengannya bersama mereka untuk
mengajari dan mencerdaskan mereka maka hal ini adalah kebaikan tanpa diragukan
lagi.
Dengan
sebab itulah, tidak diperbolehkan seseorang berbicara tentang agama tanpa ilmu.
Sebagaimana firman Allah;
قُلْ
إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ
وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ
سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ } [الأعراف: 33
33. Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang
keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar
hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah
dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan)
mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."(Q.S. Al A’raf: 33)
Juga
firman Allah;
{وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ
لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ
عَنْهُ مَسْئُولًا} [الإسراء: 36]
36. dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Q.S. Al Isra’: 36)
Ibnu ‘Abbas menjelaskan bahwa [walaa taqfu] artinya [walaa taqul]
(jangan berkata).[1]
Ibnu Katsir menerangkan ayat di atas berkata:
“Sesungguhnya
Allah melarang perkataan tanpa ilmu, juga perkataan dengan dhan (persangkaan).”[2]
Itu semua adalah sangat sesuai, lebih di sukai dan sebagai
peringatan, karena kebanyakan dari da’i mereka menyampaikan hadits-hadits yang
tidak jelas asalnya dalam ceramah meraka. Diantaranya hadits dho’if, maupun
hadits maudhu’, mereka berdakwah dengan begitu bertujuan memikat manusia dengan
hadits-hadits tersebut, dan itu adalah termasuk kesalahan yang besar. Sedangkan
masih banyak hadits-hadits shohih dari Rosul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, juga
dalil dari kitabullah, maka dari itu kita tinggalkan menggunakan hadits-hadits
yang maudhu’ dan dho’if.[3]
Sebagai seorang da’i harus selalu jujur dalam menyampaikan risalah
dakwah dengan cara menyampaikan yang sesuai dengan apa yang dibawa oleh
Rasulullah. Jujur adalah sifat yang harus dimiliki oleh semua orang terkhusus
lagi bagi seorang da’i, dan Rasul-pun mewajibkan kepada ummatnya untuk selalu
berlaku jujur sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan dari ‘Abdullah ibnu
Mas’ud;
وعن
عبد الله بن مسعود قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " عليكم بالصدق فإن
الصدق يهدي إلى البر وإن البر يهدي إلى الجنة وما يزال الرجل يصدق ويتحرى الصدق حتى
يكتب عند الله صديقا . وإياكم والكذب فإن الكذب يهدي إلى الفجور وإن الفجور يهدي إلى
النار وما يزال الرجل يكذب ويتحرى الكذب حتى يكتب عند الله كذابا " . متفق عليه
“Wajib bagi
kalian untuk bersikap jujur, kerana kejujuran akan membawa kepada
kebaikan, dan kebaikan itu akan membawa ke syurga. Apabila seseorang terus
menerus bersikap jujur dan berusaha untuk sentiasa jujur maka di sisi Allah dia
akan dicatat sebagai orang yang Siddiq. Dan jauhilah kedustaan, kerana
kedustaan itu akan membawa kepada kefajiran[4],
dan kefajiran akan menjerumuskan ke dalam neraka. Apabila seseorang terus
menerus berdusta dan mempertahankan kedustaannya maka di sisi Allah dia akan
dicatat sebagai seorang pendusta.”(Muttafaqun ‘Alaih).[5]
Aku
bukanlah orang yang mengkritik kepada jama’ah ini.
74. Sungguh
sangat banyak perkataan dari beberapa jama’ah, dan apa yang diandalkan dari
jama’ah ini ataupun yang semisal itu,
memperbanyak perkataan dalam jama’ah dakwah dan tabligh.
Saya(Syaikh ‘Utsaimin) melihat bahwa jama’ah ini mempunyai kebaikan
yang banyak, dan mempunyai dampak lebih yang tidak ditemui pada jama’ah lain,
diantara dampak tersebut adalah:
Adanya
beberapa orang kafir yang beriman karena dakwah mereka, beberapa orang yang
berbuat maksiat berubah menjadi ta’at dengan dakwah meraka, dan ini adalah
perkara yang nyata dan tidak dipungkiri.
Akan
tetapi menurut saya(Syaikh ‘Utsaimin) jama’ah mereka masih memerlukan ilmu,
karena telah sampai kepadaku bahwasanya sebagian dari mereka tidaklah mencintai
ilmu dan tidak pula mendalaminya. Dia mengatakan; bahwasanya mempelajari lebih
dalam adalah khusus bagi ulama’ dan yang semisal ulama’, dan ini adalah sebuah
kesalahan dan ini pulalah yang menjadi kritikan bagi mereka.[6]
75. Enam
sifat dakwah jama’ah tabligh(Shifatush Shahabah)
Jama’ah tabligh menfokuskan dakwah mereka hanya kepada enam sifat saja, walaupun
sifat-sifat tersebut adalah sifat yang baik dan terpuji tetapi tidak
dibatasi hanya sifat tersebut saja yang harus di dakwahkan oleh para du’at, dan
mereka meninggalkan sifat yang lebih agung dari itu, atau sebagian lebih agung
dari yang mereka dakwahkan, akan tetapi itu adalah ijtihad mereka.
Enam sifat tersebut yang dimaksud adalah;
1) Yakin atas kalimah thoyyibah “laa ilaaha illallah
muhammadurrasulullah”.
2) Sholat khusyu’ dan khudlu’.
3) Ilmu ma’adzikir.
4) Ikromul Muslimin.
5) Tashihun niat.
6)
Da’wah dan tabligh khuruj fi sabilillah.[7]
Maka dari itu sebagian orang mengatakan bahwasanya dakwah ini sangat berat, oleh sebab itu dia
harus fokus terhadap apa yang didakwahkan nabi tentang agama kita. Sebagaimana
yang terdapat dalam hadits Umar ibn Al Khatthab Radhiyallahu ‘Anhu. Dia
berkata:
بَيْنَمَا
نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - ذَاتَ يَوْمٍ، إذْ
طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ، شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعْرِ،
لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ. حَتَّى
جَلَسَ إلَى النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - . فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إلَى
رُكْبَتَيْهِ، وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخْذَيْهِ، وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ
أَخْبِرْنِي عَنْ الْإِسْلَامِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -
الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُولُ اللَّهِ، وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُومَ
رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إنْ اسْتَطَعْت إلَيْهِ سَبِيلًا. قَالَ: صَدَقْت
. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ! قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنْ
الْإِيمَانِ. قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِاَللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ
وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ.
قَالَ: صَدَقْت. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِحْسَانِ. قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ
اللَّهَ كَأَنَّك تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاك. قَالَ:
فَأَخْبِرْنِي عَنْ السَّاعَةِ. قَالَ: مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنْ
السَّائِلِ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا؟ قَالَ: أَنْ تَلِدَ
الْأَمَةُ رَبَّتَهَا، وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ
الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِي الْبُنْيَانِ. ثُمَّ انْطَلَقَ، فَلَبِثْنَا
مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ: يَا عُمَرُ أَتَدْرِي مَنْ السَّائِلُ؟. قَلَتْ: اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ
دِينَكُمْ ". رَوَاهُ مُسْلِمٌ
“Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki
yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak
padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang
mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua
lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) seraya
berkata: “ Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa
tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad
adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan
dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami
semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya
lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari
akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian
dia berkata: “ anda benar“. Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku
tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada
Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia
melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat
(kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu dari
yang bertanya “. Dia berkata: “ Beritahukan aku tentang tanda-tandanya “,
beliau bersabda: “ Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau
melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba,
(kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya “, kemudian orang itu berlalu
dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “ Tahukah
engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih
mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian
(bermaksud) mengajarkan agama kalian“.(Riwayat Muslim)
Seandainya
ikhwan kita(jama’ah tabligh) lebih menfokuskan dakwahnya kepada ushul yang
disebut nabi sebagai Din maka itu adalah yang lebih baik dan lebih lurus.
Dan
tidak diragukan lagi bahwa enam sifat yang mereka dakwahkan memiliki banyak
kekurangan. Maka mereka harus menyempurnakannya
sebagaimana yang ditunjukkan oleh syari’at agama.[8]
76.
wajib membangun satu Hizb(kelompok) saja
Bagi sebuah daulah wajib membangun satu hizb saja yaitu hizbullah
Azza Wajalla yang menampung dalam berhukum dengan syari’at islam pada setiap
perkara; pada perkara ibadah yang
menghubungkan antara manusia dengan Rabb-nya, mu’amalat antara makhluq dengan
sesama, begitu pula yang berhubungan dengan keluarga atau yang berhubungan
dengan pihak yang lain, ekonomi, militer, dan lain-lain.
Setiap negeri muslim pemerintahannya wajib kembali kepada Al Quran
dan Sunnah, dan yang disebut hizb disini adalah Hizbullah sebagai pelaksana
syari’at Allah. Satu kelompok ini yaitu Hizbullah yang tidak akan membahayakan
ummat islam seperti sebagaimana jika jumlah hizb itu sangat banyak. Allah Azza Wajalla
telah memberi isyarat dalam Al Quran bahwa banyaknya hizb dan pertentangan
adalah penyebab kegagalan. Allah berfirman;
وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ......
Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan
kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu....... (Q.S Al-Anfal: 46)
Juga
firman Allah;
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا
جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
105.
dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih
sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang
yang mendapat siksa yang berat.(Q.S Ali Imran: 105)
77. Hukum mogok kerja
Bagaimana
hukum mogok kerja dengan tujuan meruntuhkan pemerintahan sekuler. Hal yang
semacam ini tidak terdapat asalnya dalam syari’at agama, jika yang dimaksud
adalah untuk meruntuhkan pemerintahan sekuler maka harus dipastikan dulu bahwa
di negeri tersebut adalah benar-benar menggunakan hukum sekuler, jika memang
sudah bisa dipastikan maka hal ini diperbolehkan akan tetapi memerlukan
beberapa syarat, sebagaimana yang di jelaskan Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam
dalam hadits ‘Ubadah ibnu Shamit Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata: Rasulullah
membaiat kita untuk mendengarkan dan taat dalam perkara yang senangi dan tidak
senangi, dalam keadaan lapang dan sempit kita, tidak egois dan tidak pula
menyelisihi pemimpin. Nabi bersabda: “kecuali engkau melihat kekafiran yang
tampak jelas pada mereka dan disertai dengan bukti”
Adapun syarat-syarat tersebut
adalah:
a.
Melihat
dan mengetahui dengan pasti bahwasanya pemerintahan melakukan perbuatan
kekafiran.
b.
Pemerintahan
benar-benar melakukan kekafiran. Jika mekukan kefasikan saja maka hal ini tidak
diperbolehkan.
c.
Melakukan
kekafiran dengan terang-terangan dan sangat jelas dan tidak perlu ta’wil.
d.
Mempunyai
bukti dari Al Quran dan Sunnah.
e.
Mampu
untuk meruntuhkan pemerintahan tersebut, karena jika belum mampu tapi
memaksakan kehendak maka akan terjadi sesuatu yang lebih parah(Dharar) dari
pada berdiam dalam keadaan tersebut.
Lima
syarat tersebut wajib dipenuhi jika ingin meruntuhkan pemerintahan sekuler,
jika memang permogokan dapat menjadi sebab untuk meruntuhkan pemerintahan
sekuler setelah semua syarat yang tersebut diatas terpenuhi, maka yang seperti
itu di perbolehkan. Adapun jika salah satu dari syarat-syarat tersebut tidak
terpenuhi maka permogokan tidak di perbolehkan dan tidak boleh bergerak untuk
meruntuhkan pemerintah. [9]
78.
setelah permogokan, bolehkan kita melakuka revolusi pemerintahan dikarenakan
kefajiran pemerintan?
Syaikh
Muhammad Ibnu Sholih Al ‘Utsaimin berpendapat bahwa, aku tidak
berpendapat bahwa akan didirikan revolusi pemerintahan pada saat ini, karena
kekuatan ada di tangan pemerintah sebagaimana yang kita ketahui. Dan revolusi
pemerintahan tidak hanya memerlukan pisau dapur dan tongkat pengembala, dan
diperkuat dengan peralatan perang dan senjata. Tetapi hal ini bisa dicapai
dengan jalan yang lain jika syarat-syarat sudah terpenuhi sebagaimana tersebut
diatas. Dan tidak di perbolehkan tergesa-gesa, karena negeri tersebut telah
hidup dalam kurun waktu yang lama dalam penjajahan dan tidak mungkin untuk
merubahnya dengan seketika menjadi negeri islami, akan tetapi hal ini
memerlukan waktu yang panjang dan bahkan seumur hidup.[10]
79.
Duduk-duduk dalam rangka menekan pemerintah
Para
pemogok kerja yang mereka berkumpul dan duduk-duduk di halaman/lapangan,
sebagaimana mereka duduk-duduk di halaman gedung pemerintah, bermalam di
halaman tersebut. Maka bagaimana hukum duduk-duduk tersebut apakah ada dasar
syari’atnya?
Duduk-duduk
sebagaimana yang disebutkan diatas tidak diragukan lagi bahwa itu adalah
sebagai upaya atau wasilah untuk menekan pemerintah, tetapi perlu diketahui
bahwa wasilah itu tergantung kepada maksud dan tujuannya, selama wasilah itu
tidak menggunakan sesuatu yang diharamkan maka hal itu diperbolehkan.[11]
80. Ada seseorang berpendapat:
kita berkumpul dengan apa yang kita sepakati, dan toleran satu sama lain
terhadap apa yang kita masih berselisih.
Syaikh
Muhammad Ibnu Sholih Al ‘Utsaimin berpendapat secara global; Adapun tentang
berkumpul dengan apa yang telah disepakati itu adalah benar. Adapun toleran
terhadap apa yang masih diperselisihkan, maka ini masih perlu diperinci lagi:
Jika yang diperselisihkan adalah masalah yang
diperbolehkan ijtihad maka hal ini dibolehkan, dan dilarang saling membenci
dikarenakan perbedaan ini.
Adapun jika yang diperselisihkan adalah
masalah yang dilarang ijtihad maka tidak ada toleran bagi yang menyelisihinya.
Dan wajib tunduk kepada kebenaran. Ibarat yang pertama adalah benar dan yang
kedua masih memerlukan rincian lagi.[12]
81. Berdakwah tanpa ilmu tidak
akan istiqamah selamanya.
Kita sering menemukan sebagian da'i memiliki perhatian terhadap
dakwah ke jalan Allah dan ukhuwah di jalan allah serta saling mencintai di
dalamnya, namun tidak memperhatikan persoalan ilmu dan tafaqquh dalam
perkara-perkara ad-dien dan aqidah serta dalam menghadiri majlis-majlis ilmu,
maka apakah komentar syaikh terhadap hal ini ?
Syaikh
Muhammad Ibnu Sholih Al ‘Utsaimin berkomentar, “bahwa sesungguhnya
kewajiban yang pertama adalah seorang da’I berbekal dengan ilmu sehingga
menjadi ‘Alim. Dan sedikitnya ilmu menandakan bahwa manusia itu masih bodoh, dengan
begitu dakwahnya akan mengambang tidak diketahui kebenarannya.
Jika dakwahnya tegak atas kebodohan maka
manusia akan berhukum dengan apa yang ia dapat melalui akalnya, karena
menganggap yang ia dapat adalah benar, padahal salah. Dan ini adalah kesalahan
yang besar, maka janganlah berdakwah
kecuali setelah berilmu. Sungguh Imam Bukhari Rahimahullah telah menyusun hal
tersebut didalam kitab shohihnya, yaitu; Bab ilmu sebelum berkata dan beramal,
kemudian beliau mengambil dalil dengan firman Allah:
فَاعْلَمْ
أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ....
19. Maka
ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah
dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki
dan perempuan……..( Q.S
Muhammad: 19).
Dari ayat diatas dapat kita ketahui
bahwa, da’I haruslah berilmu sebelum dia berdakwah.
Adapun
berdakwah tanpa ilmu tidak akan istiqamah selamanya adalah dapat kita ambil
sebuah perumpamaan, “seandainya kita dari Jeddah ingin pergi ke Riyadh, kemudian
kita pasrahkan kepada seseorang yang ingin terhadap kebaikan dan niat yang
baik, dan kita katakan kepadanya, “kami ingin engkau menunjukkan kami jalan ke Riyadh”
tetapi dia tidak tahu jalannya. lalu kita pergi bersamanya dan tersasar ke padang sahara, kita terus
mengikuti dan mengikutinya. Dan hasilnya kita tidak akan sampai
ke Riyadh. Kenapa? Dikarenakan tidak tahu jalannya.
Maka
bagaimana mungkin bisa menunjukkan kepada syari’ah orang yang tidak mengerti
syari’ah? Dan yang seperti itu tidak akan mungkin selamanya.[13]
[1] Ibnu
‘Abbas, Tanwirul Miqbas Min Tafsir Ibnu ‘Abbas, Dar Kutub Ilmiyyah,
lebanon,tt. Hal. 236
[2] Abu
Fida’ Ismail Ibnu Katsir Al Qurasyi, Tafsir Quranul ‘Adhim, Dar
Thayyibah, Maktabah Syamilah, 1999, Juz. 5, Ha. 75
[3][3]
Muhammad Ibnu Sholih Al ‘Utsaimin, Ash Shahwah Islamiyah, Madarul
Wathan, Mamlakah ‘Arabiyah, 1433 H, Hal. 137-138
[4]
Kafajiran: Perbuatan kemaksiatan
[5]
Muhammad Ibnu Abdullah Al Khatib At Tibrizi, Misykatul Mashabih,
Maktabah Islami, Bairut,1985. Juz.3, Hal. 45
[6]
Muhammad
Ibnu Sholih Al ‘Utsaimin, Ash Shahwah Islamiyah, Madarul Wathan,
Mamlakah ‘Arabiyah, 1433 H, Hal. 138-139
[8]
Muhammad
Ibnu Sholih Al ‘Utsaimin, Ash Shahwah Islamiyah, Madarul Wathan, Mamlakah
‘Arabiyah, 1433 H, Hal. 140-141
[9]
Muhammad
Ibnu Sholih Al ‘Utsaimin, Ash Shahwah Islamiyah, Madarul Wathan, Mamlakah
‘Arabiyah, 1433 H, Hal.
[10]
Muhammad
Ibnu Sholih Al ‘Utsaimin, Ash Shahwah Islamiyah, Madarul Wathan, Mamlakah
‘Arabiyah, 1433 H, Hal.
[11]
Muhammad
Ibnu Sholih Al ‘Utsaimin, Ash Shahwah Islamiyah, Madarul Wathan, Mamlakah
‘Arabiyah, 1433 H, Hal.
[12]
Muhammad
Ibnu Sholih Al ‘Utsaimin, Ash Shahwah Islamiyah, Madarul Wathan, Mamlakah
‘Arabiyah, 1433 H, Hal.
[13]
Muhammad
Ibnu Sholih Al ‘Utsaimin, Ash Shahwah Islamiyah, Madarul Wathan, Mamlakah
‘Arabiyah, 1433 H, Hal. 145-146
Tidak ada komentar:
Posting Komentar