Ushul Fiqh
Tartibul Adillah
Tartibul Adillah
Tartibul Adillah[1]
Pembicaraan tentang ini akan dibahas selanjutnya:
1.
Yang dimaksud tartibul adillah yaitu:
menjadikan seluruh dalil pada beberapa tingkatannya yang tepat, menurut suatu
pendangan dengan beberapa pandangan lainnya.
2.
Adillah Syar’iyyah terbagi menjadi: sepakat
terhadapnya dan perselisihan atasnya, qath’iyyah dan dhanniyyah, dan naqliyyah
dan aqliyyah.
Dan dari kebaikan pengertian
tentang ini adalah:
a)
Bahwasanya
dalil yang telah disepakati adalah ada 4(empat), yaitu:
1) Al Kitab
2) As Sunnah
3) Al Ijma’, dan
4) Qiyas.
b)
Bahwasanya
dalil yang masih diperselisihkan adalah dikembalikan kepada dalil yang telah
disepakati dari pandangan asalnya dan dalil tetapnya. Dengan sebab itu bisa
diketahui.
c)
Bahwasanya
dalil syar’iyyah, yaitu yang telah disepakati dan yang masih diperselisihkan
adalah dikebalikan kepada dalil 4(empat) yang telah disepakati.
d)
Bahwasanya
dalil yang 4(empat) adalah dikembalikan kepada al kitab dan as sunnah, dan
semuanya dikembalikan kepada al kitab.
e)
Bahwasanya dalil yang 4(empat) telah disepakati
dan tidak ada yang memperselisihkan, selalu dan tidak terpisah, semuanya adalah
haq, dan yang haq tidak akan bertentangan tetapi membenarkan sebagian atas
sebagian lainnya.
- Adillah Syar’iyyah dipandang dari wajibnya pengamalannya pada satu derajat atau tingkatan, jika seluruhnya mewajibkan untuk mengikutinya dan berhujjah dengannnya.
- Tartibul adillah dari tempat dan kedudukannya yaitu:
a.
Al Kitab
b.
As Sunnah
c.
Al Ijma’, dan
d.
Qiyas.
- Tartibul adillah dari pandangan terhadapnya yaitu: yang dimaksudkan untuk menghasung kepadanya sebagaimana contoh berikut: Al Kitab, kemudian As Sunnah, al ijma’, kemudian qiyas.
Ini adalah manhaj salaf, dan
telah dinukil dari beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Dan asal dari semua itu adalah
hadits Mu’adz yang masyhur.
Imam Syafi’i memisah-misahkan
urutan tersebut, kemudian berkata:
“ sebaik-baik sesuatu adalah
yang dihukumi dengan al kitab(Al Quran)”
As sunnah disepakati dan tidak ada
perbedaan atasnya, maka kita ucapkan untuk ini: kita menghukumi dengan haq baik
dari sisi dhahir maupun bathin.
Menghukumi dengan As Sunnah telah
diriwayatkan dari satu jalur, dan tidak berkumpul manusia atasnya. Kita
ucapkan: kita menghukumi kebenaran dengan yang dhahir, karena mungkin saja terjadi
kesalahan dari orang yang meriwwayatkan hadits. Maka kita menghukumi dengan ijma’.
Kemudian Qiyas, ini adalah paling lemah
diantara lainnya, tetapi dipakai untuk keadaan darurat, karena tidak berlaku
qiyas jika khabar(dalil) itu ada.
Ibnu Taimiyah telah menetapkan
urutan ini dan menerangkannya, bahwasanya sunnah tidak bisa menasakh Al Kitab,
dan tidak pula sesuatu darinya dinasakh As Sunnah. Kemudian tidak ada sesuatu
disunnah dinasakh kecuali sunnah menasakhnya.
Dan menetapi tartib ini juga
dari madzhab yang memperbolehkan Al Quran menasakh As Sunnah, begitu pula
sebaliknya. Dan menurut mereka terlebih dahulu dilihat di Al Kitab kemudian di As
Sunnah, dan seorang yang melihat haruslah termasuk ahlul ilmi tentang nasikh
dan mansuk, Amm wal Khash(Umum dan Khusus), Muthlaq wal Muqayyad(bebaas dan
terikat), dan juga selalu berada diatas Al Kitab dan As Sunnah, karena
pandangan pertama dari Al Kitab bukan berarti menyingkirkan as sunnah, atau
memisahkan antaranya(As Sunnah) dengan Al Kitab.
[1] Muhammad Husain bin Hasan Al Jizani, Ma’alim
Ushul Fiqh ‘Inda Ahlush Sunnah wal Jama’ah, Saudi Arabiya: Dar Ibn Al
Jauzi, 1431 H, hal. 277
Tidak ada komentar:
Posting Komentar