SHALAT BERJAMA’AH
Oleh: Abu Syuja' Al Ishlahy
A.
Pendahuluan
Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala
Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’ain.
Sungguh prihatin melihat kondisi umat Islam saat
ini. Jika kita sedikit memalingkan pandangan ke masjid-masjid, kita akan
menyaksikan bahwa rumah Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang ada sangat sedikit
sekali dihuni oleh jama’ah ketika mu’adzin mengumandangkan hayya ‘ala shalah.
Maka,
berlatar belakang inilah, dalam makalah yang ringkas ini kami berusaha
memberikan sedikit penjelasan tentang shalat berjama’ah,
keutamaannya serta hukum orang yang
meninggalkan shalat ber jama’ah dan kami berusaha menghasung setiap orang yang membaca tulisan
ini untuk melakukan shalat berjama’ah.
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala selalu memberi hidayah dan taufik-Nya kepada kita
sekalian. Amiin.
B.
Problem
Masyarakat dalam Memahami Makna Berjama’ah
Di era yang
penuh fitnah ini banyak masyarakat yang salah dalam memahami makna jama’ah,
sehingga menyebabkan salahnya dalam menyikapi hidup antar jama’ah. Ada
diantaranya ta’asub dan ghuluw dengan jama’ahnya, ada pula yang meremehkan
masalah jama’ah. Sehingga ketika memasuki persoalan shalat berjama’ah, kita
sering dapati di beberapa daerah yang memiliki satu masjid, tetapi ketika
menunaikan sholat, penduduk di dalamnya akan mengadakan shalat berjama’ah
sendiri-sendiri sesuai jama’ah(kelompok) yang mereka ikuti. Kelompok A, hanya
akan shalat setelah selesainya kelompok B menunaikan shalat berjama’ah, begitu
juga sebaliknya. Dan itu di lakukan dalam satu masjid di satu daerah, dari
sikap ta’asub pula yang menyebabkan banyaknya masyarakat yang berlomba-lomba
dalam membangun masjid sampai-sampai dalam satu kampung ada tiga masjid yang
semuanya dipakai shalat jum’at.
C.
Pengertian
Shalat Berjama’ah
وصل
عليهم إن صلاتك سكن لهم.... …
“…dan berdo’alah untuk mereka . sesungguhnya do’amu
itu(menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka….”
(Q.S At-taubah: 103).
Nabi
Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ
صَائِمًا فَلْيُصَلِّ وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ.
“ Jika salah seorang di antara kalian di
undang, hendaklah dia memenuhinya. Jika dia dalam keadaan berpuasa, hendaklah
mendo’akannya. Jika sedang tidak berpuasa, hendaklah dia makan.” (H.R Muslim
no: 1431)[2].
2.
Shalat
menurut istilah berarti ibadah kepada Allah
Subhanahu Wa Ta’ala dalam bentuk ucapan dan perbuatan yang ditentukan dan
khusus, di awali dengan takbir dan di tutup dengan salam.
Disebut
shalat karena ketercakupannya pada do’a, bahkan shalat merupakan sebutan untuk
setiap do’a lalu berubah menjadi shalat yang disyari’atkan karena antara shalat
dan do’a terdapat kesamaan. Karena masalah itu
sangat berdekatan. Maka jika kata shalat disebutkan dalam syari’at, yang
dimaksud adalah shalat yang disyari’atkan.
3.
Jama’ah
menurut bahasa berarti jumlah dan banyaknya
segala sesuatu. Kata Al jam’u berarti kumpulan/penyatuan (dari sesuatu)[3].
Al jama’ah berarti kelompok/kumpulan (orang )[4].
4.
Jama’ah
menurut pengertian istilah berarti sekumpulan
orang, yang diambil dari makna ijtimaa’ (perkumpulan). Minimal perkumpulan
tersebut adalah dua orang, yaitu: Imam dan makmum. Disebut shalat berjama’ah karena adanya
pertemuan orang-orang yang shalat dalam satu perbuatan yang sama, baik dari
segi tempat maupun waktu[5].
Jadi shalat berjama’ah adalah shalat
yang dilakukan secara bersama-sama minimal dua orang(imam dan makmum) dalam
satu perbuatan yang sama, baik dari segi tempat maupun waktu. Shalat sendiri
adalah Ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam bentuk ucapan dan
perbuatan yang ditentukan secara khusus, yaitu
yang di awali dengan takbiratul ihram dan di tutup dengan
salam.
D.
Sejarah Disyari’atkannya Shalat Berjama’ah
Jauh sebelum disyariatkan shalat 5 waktu saat mi`raj Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, umat Islam sudah melakukan shalat jama’ah, namun
siang hari setelah malamnya beliau mi`raj, datanglah malaikat Jibril ‘Alaihissalam
mengajarkan teknis pengerjaan shalat dengan berjamaah. Saat itu memang belum
ada syariat Adzan, yang ada baru panggilan untuk berkumpul dalam rangka shalat.
Yang dikumandangkan adalah seruan `Ash-shalatu jamiah`, lalu Jibril shalat
menjadi imam untuk nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam shalat menjadi imam untuk para shahabat lainnya.
Namun syariat untuk shalat berjamaah memang belum lagi
dijalankan secara sempurna dan tiap waktu shalat, kecuali setelah beliau Shallallahu
‘Alaihi Wasallam tiba di Madinah dan membangun masjid. Saat itulah shalat
berjamaah dilakukan tiap waktu shalat di masjid dengan ditandai dengan
dikumandangkannya Adzan. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam meminta Bilal
radhiyallahu ‘anhu untuk mengumandangkan adzan dengan sabdanya :
“Wahai Bilal,
bangunlah dan lihatlah apa yang diperintahkan Abdullah bin Zaid dan lakukan
sesuai perintahnya”. (HR. Bukhari)[6]
Rasulullah dalam haditsnya menerangkan
tentang pentingnya shalat jama’ah Rasulullah bersabda “Demi Dzat yang jiwaku
ada di tangan-Nya sungguh aku ingin memerintahkan untuk mengumpulkan kayu
bakar, kemudian aku berpaling kepada orang-orang yang terlambat hadir dan aku
bakar rumah-rumah mereka….. .(H.R Bukhari) . Dan sumpah Rasulullah tersebut
menjelaskan tentang pentingnya perkara yang beliau sebutkan sebagai tekanan
kepada orang yang meninggalkan shalat berjama’ah[7].
E.
Hukum
Shalat Berjama’ah
Sebagian ulama’ mengatakan bahwa
shalat jama’ah itu adalah fardhu ‘ain (wajib ‘ain) bagi laki-laki yang mukallaf
dan mampu, baik yang sedang tidak bepergian(mukim) maupun sedang dalam
perjalanan(safar). Abu Bakar al-Kasani mengomentari tetang perintah Allah yang
ada dalam Q.S Al-Baqarah: 43 “Dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’ “
kata ruku’ dalam ayat tersebut adalah mengandung arti shalat berjama’ah, dengan
demikian perintah mendirikan shalat berjama’ah tersebut bersifat mutlak dan itu
menunjukkan diwajibkannya amalan tersebut[8], yakni untuk shalat lima waktu. sebagian pendapat
mengatakan bahwa shalat jama’ah itu fardhu kifayah, dan sebagian lagi
berpendapat sunnah muakkad (sunnah istimewa). Yang akhir inilah hukum
yang layak, kecuali shalat jum’at. Pengarang Nailul Autar berkata, “pendapat
yang seadil-adilnya dan dekat kepada yang betul ialah shalat berjama’ah itu sunnah
muakkad[9].”
Shalat berjama’ah lima waktu di masjid bagi laki-laki
adalah lebih baik daripada shalat berjama’ah dirumah. Hal
ini sesuai dengan sabda Rasulullah Sallallahu
‘Alaihi Wasallam:
صلوا
أيها الناس في بيوتكم فإن أفضل صلاة صلاة المرء في بيته إلا المكتوبة. (رواه
البخاري ومسلم)
“hai manusia
shalatlah kamu di rumah kamu masing-masing. Sesungguhya sebaik-baik shalat
seseorang ialah di rumahnya, kecuali shalat almaktubah/lima waktu (maka dimasjid lebih baik).”(H.R
Bukhari Muslim).
Para perempuan juga diperbolehkan shalat berjama’ah
di masjid walaupun shalat dirumah lebih baik bagi mereka. Hal ini juga sesuai
dengan sabda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi
Wasallam:
لا
تمنعوا نساءكم المساجد وبيوتهن خير لهن. (رواه أبو داود)
“janganlah kamu
melarang perempuan-perempuanmu ke masjid, walaupun rumah-rumah
mereka(perempuan) lebih baik bagi mereka(buat beribadah).” (H.R Abu Dawud).
Imam Syafi’i Rahimahullah
berpendapat tentang shalat jama’ah bahwasanya, “ tidak halal meninggalkan
shalat berjama’ah pada setiap pelaksanaan shalat fardhu, sehingga tiada suatu
kelompok pun dari orang yang mukim(domisili) maupun yang safar melainkan
menegakkannya.”
Telah diriwayatkan dari Abu Hurairah
radhiyallu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallah ‘Alaihi Wasallam bersabda:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ
فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ
فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ
أَنَّهُ يَجِدُ عَرْقًا سَمِينًا ، أَوْ مِرْمَاتَيْنِ حَسَنَتَيْنِ لَشَهِدَ الْعِشَاءَ.
“demi dzat yang jiwaku berada di tangann-Nya, sungguh aku
bermaksud untuk menyuruh mengumpulkan kayu bakar. Kemudian
aku perintahkan mereka untuk mengerjakan shalat, lalu dikumandangkan adzan
untuk shalat kemudian aku perintahkan seorang laki-laki untuk mengimami orang
banyak. Kemudian aku berpaling kepada orang-orang yang terlambat hadir dan aku
bakar rumah-rumah mereka. Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, apabila
salah seorang dari mereka mengetahui bahwa ia akan memperoleh daging gemuk pada
tulang atau daging yang menempel di antara tapak kaki kambing, niscaya ia akan menghadiri shalat isya,”[10]
Imam Syafi’i Rahimahullah mengatakan
pula hal serupa dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallah ‘alaihi
wasallam bahwa beliau berkeinginan untuk membakar rumah-rumah suatu kaum yang
meninggalkan shalat isya’ karena kemunafikan, beliau juga tidak memberi
keringanan kepada orang-orang yang sanggup melaksanakan shalat jama’ah untuk
meninggalkannya, kecuali karena udzur. WAllah
Subhanahu Wa Ta’alau a’lam[11].
F.
Bagaimana hukumnya membawa anak kecil ke masjid
Mengenai hal ini saya akan mengambil jawaban dari
pendapat syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Beliau menjawab:
“Menurut hemat
saya, membawa anak-anak yang akan mengganggu jama’ah shalat tidak boleh. Karena
hanya akan menyakiti jama’ah yang sedang menunaikan kewajiban dari Allah. Nabi
Shallallahu ‘alaiahi was sallam pernah mendengar beberapa sahabat yang sedang
shalat, bersuara keras dalam qiro’ah maka beliau bersabda.
“Artinya : Janganlah sebagian kalian bersuara
melebihi orang lain dalam membaca ayat”
Dalam hadits lain, “Janganlah sebagian kalian
mengganggu lainnya”.
Jadi, segala sesuatu yang dapat mengganggu
jama’ah shalat tidak boleh dilakukan oleh siapapun
Nasihat saya kepada orang tua, sebaiknya tidak
menyertakan anak-anak ke masjid, hendaklah mereka berpegang pada petunjuk Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Perintahkanlah anak-anak kalian
mengerjakan shalat sewaktu berumur tujuh tahun. Dan pukullah mereka jika tidak
mau melaksanakannya sewaktu umur sepuluh tahun”.
Demikian juga saya pesan kepada pengurus
masjid agar berlapang dada dan tidak menghalangi anak-anak datang ke masjid
sepanjang diperbolehkan oleh syari’at. Dan tidak mengusir mereka dari
tempatnya, karena siapa saja yang lebih dahulu mengambil tempat, maka dialah
yang paling berhak mendapatkannya, baik anak-anak atau orang dewasa. Karena
itu, mengusir anak-anak dari tempat shalat mereka mengandung unsur.
[1]. Perampasan hak, karena siapapun yang
mendahului orang lain dari kalangan muslimin, maka dia orang yang paling berhak
meraihnya.
[2]. Menyebabkan trauma pada anak untuk
kembali mendatangi masjid.
[3]. Akan menanamkan rasa dengki anak terhadap
orang yang mengusirnya dari tempatnya semula.
[4]. Anak-anak akan berkumpul menjadi satu,
sehingga terjadilah permainan di antara mereka dan menyebabkan gangguan
terhadap jama’ah yang sebenarnya hal itu tidak akan terjadi manakala anak-anak
berbaris dalam shaf orang-orang dewasa.
Adapun pendapat yang disebutkan oleh sebagian
ulama, bahwa anak kecil boleh dipindahkan dari tempatnya semula sehingga berada
di ujung shaf atau di shaf paling akhir, dengan dalil bahwa Nabi pernah
bersabda.
“Artinya : Hendaknya berada didekatku,
orang-orang dewasa dan berakal”
Adalah pendapat marjuh (lemah) yang
bertentangan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain.
“Artinya : Barangsiapa lebih dulu mendapatkan
sesuatu yang belum ada seorangpun yang mendahuluinya maka dialah orang yang
paling berhak mendapatkkannya”
Dan istidlal (penggunaan dalil) mereka dengan
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Hendaknya berada didekatku,
orang-orang dewasa dan berakal”, dalam masalah ini tidak tepat.
Karena kandungan hadits ini adalah anjuran
kepada orang-orang dewasa dan berakal agar maju mendekati Nabi. Mereka adalah
orang-orang yang lebih faham terhadap seluk beluk shalat daripada anak kecil.
Dan lebih kuat pengetahuannya terhadap apa-apa yang dilihat atau didengar dari
Nabi. Beliau tidak mengatakan : “Tidak boleh berada diekatku kecuali orang
dewasa lagi berakal”.
Seandainya beliau mengucapkan kalimat seperti
itu, tentu pendapat yang membolehkan pemindahan anak-anak dari barisan depan
dapat diterima. Tetapi redaksi hadits ini berisi perintah bagi orang-orang
dewasa dan berakal untuk mencari shaf-shaf awal agar berada di dekat Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.[12]
[Syaikh Ibnu
Utsaimin, Fatawa Islamiyah 2/8]
[Disalin dari
kitab Fatawa Ath-Thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar Anak Muslim,
Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah Ashim, Penerbit
Griya Ilmu]
G.
Hukum
Meninggalkan Shalat Jama’ah Ketika Memiliki Udzur
Pada pembahasa pembahasan kali ini kami akan membahas
tentang hukum seseorang yang meninggalkan shalat berjama’ah dikarenakan
memiliki udzur, dan udzur tersebut adalah yang tergolong syar’i dan telah
disebutkan dalam hadits nabi Shallallah ‘alaihi wasallam yang shahih
diantaranya:
1)
Sakit,
yang menyebabkan tidak dapat menghadiri shalat berjama’ah. Dalilnya adalah
hadits Anas yang mengisahkan tentang sakitnya rasulullah hingga beliau tidak
bisa menghadiri shalat berjama’ah yang diimami oleh Abu Bakar sebelum beliau
wafat[13].
2)
Terhidangnya
makanan yang hendak dimakan saat itu, Dalilnya adalah sabda nabi Shallallah
‘alaihi wasallam :
لا صلاة بحضرة الطعام
ولا هو يدافعه الأخبثان
“Tidak sempurna shalat seseorang pada saat
telah dihidangkan makanan dan tidak pula saat ia menahan al-akhbatsan(Buang air
kecil dan besar)[14].
3)
Lupa yang kadang kala dialami seseorang, dalilnya adalah tentang
tertidurnya Rasulullah dan para sahabat beliau saat kembali dari sebuah
peperangan, beliau bersabda yang artinya “ barangsiapa terlupa mengerjakan
shalat hendaklah ia mengerjakannya saat ia mengingatkan karena Allah befirman:
dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku(Q.S Thahaa :14)[15].”
4)
Hujan, dalilnya adalah hadits Abul Malih dari ayahnya bahwa ia menyaksikan
Rosulullah Shallallah ‘alaihi wasallam pada masa perjanjian hudaibiyah pada
hari jum’t, saat itu hujan turun tidak begitu deras hinggan tidak membuat basah
alas sepatu mereka, Rsulullah Shallallah ‘alaihi wasallam memerintahkan agar
mereka shalat ditempat masing-masing[16].
H.
Keutamaan
Melaksanakan Shalat berjama’ah
Pertama: Shalat Jama’ah Memiliki
Pahala yang Berlipat daripada Shalat Sendirian
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, beliau berkata bahwa
Rasulullah Shallallah ‘alaihi wa sallam bersabda,
بسع وعشرين درجة صلاة
الجماعة أفضل من صلاة الفد
“Shalat jama’ah lebih utama daripada shalat sendirian sebanyak 27
derajat.”[17]
Dari Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata bahwa
Rasulullah Shallallah ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ
الْخُدْرِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الصَّلاَةُ فِى جَمَاعَةٍ
تَعْدِلُ خَمْسًا وَعِشْرِينَ صَلاَةً فَإِذَا صَلاَّهَا فِى فَلاَةٍ فَأَتَمَّ رُكُوعَهَا
وَسُجُودَهَا بَلَغَتْ خَمْسِينَ صَلاَةً
».
“Shalat jama’ah itu senilai
dengan 25 shalat. Jika seseorang mengerjakan shalat ketika dia bersafar, lalu
dia menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, maka shalatnya tersebut bisa mencapai
pahala 50 shalat.[18]”
Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Kadang
keutamaan shalat jama’ah disebutkan sebanyak 27 derajat, kadang pula disebut 25
kali lipat, dan kadang juga disebut 25 bagian. Ini semua menunjukkan berlipatnya pahala shalat jama’ah dibanding dengan
shalat sendirian dengan kelipatan sebagaimana yang disebutkan.”
Kedua: Dengan Shalat Jama’ah
Akan Mendapat Pengampunan Dosa
Dari ‘Utsman bin ‘Affan, beliau berkata bahwa saya
mendengar Rasulullah Shallallah ‘alaihi wa sallam bersabda,
من توضأ للصلاة فأسبغ
الوضوء ثم مشي إلي الصلاة المكتوبة فصلاها مع الناس أو مع الجماعة أو في المسجد
غفر الله له ذنوبه
“Barangsiapa berwudhu untuk shalat, lalu dia menyempurnakan wudhunya,
kemudian dia berjalan untuk menunaikan shalat wajib yaitu dia melaksanakan
shalat bersama manusia atau bersama jama’ah atau melaksanakan shalat di masjid,
maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan mengampuni dosa-dosanya.”
Ketiga: Setiap Langkah Menuju
Masjid untuk Melaksanakan Shalat Jama’ah akan Meninggikan Derajatnya dan
Menghapuskan Dosa; juga Ketika Menunggu Shalat, Malaikat Akan Senantiasa
Mendo’akannya
Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah Shallallah
‘alaihi wa sallam bersabda,
صلاة الرجل في جماعة
تزيد على صلاته في بيته وصلاته في سوقه بضعا وعشرين درجة وذلك أن أحدهم إذا توضأ
فأحسن الوضوء ثم أتى المسجد لا ينهزه إلا الصلاة لا يريد إلا الصلاة فلم يخط خطوة
إلا رفع له درجة وحط عنه خطيئة حتى يدخل المسجد فإذا دخل المسجد كان في الصلاة
ماكانت الصلاة هي تحبسه والملائكة يصلون على أحدكم ما دام في مجلسه الذي صلى فيه
يقولون اللهم ارحمه اللهم اغفر له اللهم تب عليه مالم يؤذي فيه مالم يحدث فيه
“Shalat seseorang dalam
jama’ah memiliki nilai lebih 20 sekian derajat daripada shalat seseorang di
rumahnya, juga melebihi shalatnya di pasar. Oleh karena itu, jika salah seorang
di antara mereka berwudhu, lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian mendatangi
masjid, tidaklah mendorong melakukan hal ini selain untuk melaksanakan shalat;
maka salah satu langkahnya akan meninggikan derajatnya, sedangkan langkah
lainnya akan menghapuskan kesalahannya. Ganjaran ini semua diperoleh sampai dia
memasuki masjid. Jika dia memasuki masjid, dia berarti dalam keadaan shalat
selama dia menunggu shalat. Malaikat pun akan mendo’akan salah seorang di
antara mereka selama dia berada di tempat dia shalat. Malaikat tersebut
nantinya akan mengatakan: Ya Allah Subhanahu Wa Ta’ala, rahmatilah dia. Ya
Allah Subhanahu Wa Ta’ala, ampunilah dia. Ya Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
terimalah taubatnya. Hal ini akan berlangsung selama dia tidak menyakiti orang
lain (dengan perkataan atau perbuatannya) dan selama dia dalam keadaan tidak
berhadats. ”
Keempat: Melaksanakan Shalat
Jama’ah Berarti Menjalankan Sunnah Nabi, Meninggalkannya Berarti Meninggalkan
Sunnahnya
Terdapat sebuah atsar dari dari ‘Abdullah bin
Mas’ud, beliau berkata,
من
سره أن يلقى الله غدا مسلما فليحافظ على هؤلاء الصلوات حيث ينادي بهن فإن الله شرع
لنبييكم – صلى الله عليه وسلم – سنن الهدى وإن هن من سنن الهدى ولو أنكم صليتم في بيوتكم
كما يصلي هذا المتخلف في بيته لتركتم سنة نبيكم ولو تركتم سنة نبيكم لضللتم .
“Barangsiapa yang ingin bergembira ketika
berjumpa dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala besok dalam keadaan muslim, maka
jagalah shalat ini (yakni shalat jama’ah) ketika diseru untuk menghadirinya.
Karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mensyari’atkan bagi nabi kalian
Shallallah Subhanahu Wa Ta’alau ‘alaihi wa sallam sunanul huda (petunjuk Nabi).
Dan shalat jama’ah termasuk sunanul huda (petunjuk Nabi). Seandainya kalian
shalat di rumah kalian, sebagaimana orang yang menganggap remeh dengan
shalat di rumahnya, maka ini berarti kalian telah meninggalkan sunnah (ajaran)
Nabi kalian. Seandainya kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, niscaya kalian
akan sesat.”
Ibnu ‘Allan Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan,
“Jika
kalian melaksanakan shalat di rumah kalian yaitu melaksanakan shalat wajib
sendirian atau melaksanakan shalat jama’ah namun di rumah(bukan di masjid)
sehingga tidak nampaklah syi’ar islam, sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang
yang betul-betul meremehkannya, maka kalian berarti telah meninggalkan ajaran
nabi kalian yang memerintahkan untuk menampakkan syi’ar shalat berjama’ah. Jika kalian melakukan seperti ini, niscaya kalian
akan sesat. Sesat adalah lawan dari mendapat petunjuk.”
Catatan: Ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat
berjama’ah ini ditujukan bagi kaum pria, sedangkan wanita lebih utama shalat di
rumahnya berdasarkan kesepakatan kaum muslimin (baca: ijma’ kaum muslimin).
I.
Hikmah
Melaksanakan Shalat berjama’ah
Pertama: Melaksanakan Shalat
Jama’ah Juga Punya Fungsi Sebagai Pembinaan Kehidupan Sosial
Shalat berjama’ah juga berfungsi sebagai sarana
membangun kehidupan sosial bermasyarakat. Dan shalat berjama’ah ini sangat
diutamakan dilakukan di masjid. Sebagaimana yang terjadi di zaman Rasulullah
Shallallah ‘alaihi wa sallam, Nu’man bin Basyir berkata, Rosul Shallallah
‘alaihi wa sallam menghadapkan wajah kepada manusia(para jama’ah) lalu
bersabda,
أقيموا صفوفكم ثلاثا,
والله لتقيمنّ صفوفكم أو ليخالفنّ الله بين قلوبكم.
“ Luruskan shaf-shaf
kalian(beliau mengucapkannya tiga kali). Demi Allah, kamu harus meluruskan shaf
atau(jika tidak) Allah akan membuat hati kalian saling berselisih[19]”.
Kedua: Melaksanakan Shalat Jama’ah
Juga Punya Fungsi Sebagai Pembinaan Pribadi yang Disiplin
Diantara hikmah shalat berjama’ah adalah membina
dan melatih pribadi seorang muslim untuk selalu disiplin dan tepat waktu,
karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menetapkan waktu-waktu shalat sebagaimana
terdapat dalam kalamullah di surat An Nisa’ Ayat 103 :
¨bÎ)…….
no4qn=¢Á9$#
ôMtR%x.
n?tã
úüÏZÏB÷sßJø9$#
$Y7»tFÏ.
$Y?qè%öq¨B
ÇÊÉÌÈ
Sesungguhnya
shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman
(Q.S An Nisa’ 103).
Ketiga: Melaksanakan Shalat Jama’ah Termasuk Mensyi’arkan
Islam
Dan tak kalah pentingnya juga, hikmah dari shalat
berjama’ah adalah mensyi’arkan islam kepada khalayak umum, yang dengan
melaksanakan shalat berjama’ah, secara tidak langsung kita menunjukkan kesamaan
antara umat muslim, kekuatan barisan, kesatuan bahasa, pendidikan untuk
mematuhi peraturan dan pemimpin serta mengarahkan kepada tujuan yang satu yaitu
mencari keridhaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala[20].
Dari penjelasan diatas dapat kita
ketahui bahwa terdapat keutamaan dan hikmah yang sangat penting dalam
pelaksanaan shalat berjama’ah, maka dari itu kami mengajak para pembaca marilah
kita sama-sama berusaha melazimkan untuk selalu shalat berjama’ah sehingga kita
semua bisa mendapatkan manfaat, hikmah serta manfaat dari shalat berjama’ah
tersebut.
J.
Pendekatan dan
Penyadaran Masyarakat Tentang Shalat Berjama’ah
Pendekatan dan penyadaran masyarakat tentang shalat berjama’ah adalah dengan cara melakukan pembinaan kepada para jama’ah dan
selalu berusaha untuk memahamkan mereka tentang pemahaman syari’at islam yang
benar, sehingga para jama’ah dapat beribadah secara benar dan sesuai dengan
yang diperintahkan Allah dan Rasulullah, atau dengan ungkapan “ usaha untuk
mewujudkan jama’ah yang sholeh yang berfikir dan berbuat sesuai dengan ajaran
islam guna terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur yang diridloi Allah Subhanahu Wa Ta’ala[21]. Untuk melakukan pendekatan seperti itu diperlukan beberapa langkah untuk
bisa mempelancar usaha pendekatan dan penyadaran tersebut, diantaranya;
1.
Aktualisasi
fungsi dan peran masjid dalam mengajak masyarakat untuk shalat berjama’ah.
Seperti; Mengadakan kegiatan syar’i yang mengarah kepada terlaksanakannya
shalat berjama’ah, buka bersama (dibulan ramadhan), mengadakan kajian rutin
dengan tema-tema actual, mengadakan lomba-lomba islami, melakukan bimbingan
agama(keilmuan, diskusi, dan bermusyawarah)[22].
2.
Mempersatukan
jama’ah(umat islam) dalam satu ikatan persaudaraan. Dalam hal ini kita bnberusaha
menyampaikan kepada masyarakat tentang makna jama’ah yang sesuai dengan Al
Quran dan sunnah, juga mengajak kepada seluruh mukmin untuk bersatu, karena
orang mukmin dengan mukmin yang lain adalah bersaudara, sebagaimana firman Allah;
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (10)
10. orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah
terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat (Q.S Al Hujurat: 10).
3.
Menghilangkan
jurang perpisahan dan perbedaan antar golongan. Maksud dari menghilangkan
jurang perpisahan dan perbedaan adalah kita saling menghargai pendapat antar
kelompok, asalkan masih berlandaskan Al Quran dan sunnah dan pemahaman salaf
ash shalih. Dan kita harus berkeyakinan bahwa yang dinilai dihadapan Allah
adalah ketaqwaan kita[23].
Sebagaimana firman Allah;
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)
13. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengena(Q.S Al Hujurat: 13).
Allah
juga memerintahkan kita untuk selalu berpegang teguh pada tali agama-Nya dan
melarang kita bercerai-berai. Sebagaimana firman Allah;
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (103)
103. dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah,
dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu
ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan
hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara;
dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari
padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu
mendapat petunjuk(Q.S Ali Imran: 103).
Demikianlah
makalah singkat ini, yang hanya menyebutkan sedikit
sekali dari beberapa perkara yang berhubungan dengan shalat berjama’ah, maka
dari itu kami yakin bahwa masih banyak kekurangan dalam tulisan ini sehingga
kami mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca
sekalian.
Wallahu A’lam. Walhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.
Daftar Pustaka
Al
Quran Al karim
A. Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997
Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy Ats As Sijistani,
Sunan Abi Dawud, Bairut: Daru Al Kitab Al Arabi, tt
Abul Husain Muslim Bin Hajjaj Abu A-lHasan
Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahih Muslim, Bairut : Darul Jail dan
Darul Aafat, tt.
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al Munawir, Surabaya: Penerbit
Pustaka Progressif, 1997
Ibnu Hajar Al Atsqalani, Fathul bari,
terj, Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I,
2010
Imam Syafi’i Abu Abdillah
Muhammad bin Idris, Al-Umm, Jakarta: Pustaka Azzam,
2004
KODI DKI Jakarta, Idarah Masjid, Jakarta:
KODI DKI,
1974
masbaim.blogspot.com/.../shalat-berjamaahust-ahmad-sarwat-lc.html
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al Bukhari,
Shohih Bukhari, Bairut: Daru Ibnu Katsir, 1986
Muhammad bin Ismail Al Amir Ash Shan’ani,
Subulus Salam, Jakarta: Darus Sunnah, 2010
Siswanto, Panduan Praktis organisasi remaja masjid, Jakarta:
pustaka Al kautsar, 2005
Sulaiman Rasjid, Fiqhul Islam,
Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 1994
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Fatawa Ath-Thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar Anak
Muslim, Terj, Penerbit Griya Ilmu
Syekh Abdullah bin Shalih al Fauzan, Buku Pintar Masjid,
Jakarta:
Pustaka Imam Asy-Syafi’I 2011
Team Penyusun Dewan Redaksi, Ensiklopedi islam. Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997
[2] Abul Husain Muslim Bin Hajjaj Abu A-lHasan Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahih
Muslim, Bairut :tt. Darul Jail dan Darul Aafat, Jilid/Hal: 4/153
[6]
masbaim.blogspot.com/.../shalat-berjamaahust-ahmad-sarwat-lc.html
[7] Muhammad bin Ismail Al Amir Ash Shan’ani, Subulus Salam, Jakarta:
Darus Sunnah, 2010, Jilid/Hal: 1/118
[8]
Syekh Abdullah bin Shalih al Fauzan, Buku Pintar Masjid, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I 2011, hal: 26
[10] Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al Bukhari, Shohih Bukhari,
Bairut: Daru Ibnu Katsir, 1986, Juz/Hal: 1/231
[12] Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Fatawa Ath-Thiflul Muslim,
edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar Anak Muslim, Terj, Penerbit Griya Ilmu
[13] H.R
Bukhari (680) dan Muslim (419)
[14] H.R
Muslim(560)
[16] H.R
Abu Dawud(1064)
[17] Shahih Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al Bukhari(no
645) Shahih Muslim, Abul Husain Muslim bin Hajjaj Abu Al Hasan
Al Qusyairi An Naisaburi (no 650)
[18] Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy Ats As Sijistani, Sunan Abi Dawud, Bairut:
Daru Al Kitab Al Arabi, tt, Juz/Hal: 1/220
[19] Ibnu Hajar Al Atsqalani, Fathul bari, terj, Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2010, juz/hal: 7/431
[22] Siswanto,
Panduan Praktis organisasi remaja masjid, Jakarta: pustaka Al kautsar, 2005, Hal : 33
[23] Idarah
Masjid, Hal: 47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar